Di tengah dinamika dunia kerja modern, banyak organisasi menghadapi tantangan baru yang tak selalu terlihat di laporan kinerja: perubahan sikap dan keterlibatan karyawan. Dua fenomena yang kian sering muncul adalah Quiet Quitting dan Loud Quitting. Keduanya menggambarkan cara berbeda karyawan “meninggalkan” pekerjaannya — satu secara diam-diam, satu lagi dengan cara yang mencolok. Meskipun berbeda dalam bentuk, keduanya berakar pada masalah serupa: hilangnya motivasi, kelelahan, dan ketidakpuasan terhadap budaya kerja. Memahami perbedaan serta dampaknya sangat penting bagi organisasi untuk menjaga produktivitas, moral tim, dan reputasi perusahaan di mata publik.
Quiet Quitting adalah kondisi ketika karyawan tetap bekerja, tetapi hanya sebatas memenuhi tanggung jawab minimum tanpa inisiatif lebih. Mereka tidak benar-benar berhenti, tetapi berhenti “secara emosional” dari keterlibatan aktif dalam pekerjaan. Fenomena ini sering kali terjadi karena faktor-faktor seperti:
Karyawan yang melakukan Quiet Quitting biasanya:
Meskipun tampak tenang, dampak Quiet Quitting bisa signifikan. Dalam jangka panjang, produktivitas menurun, kreativitas terhambat, dan budaya organisasi menjadi pasif. Jika tidak disadari sejak awal, fenomena ini dapat menyebar diam-diam di antara tim lain dan menurunkan semangat kerja kolektif.
Baca juga: Tantangan yang Dihadapi Karyawan di Perusahaan Multinasional
Berbeda dengan Quiet Quitting, Loud Quitting terjadi ketika karyawan meninggalkan organisasi secara terbuka, bahkan demonstratif. Mereka bisa mengungkapkan kekecewaannya melalui media sosial, email terbuka, atau percakapan publik, yang membuat proses keluarnya menjadi perhatian banyak pihak. Penyebab utama Loud Quitting meliputi:
Ciri khasnya adalah adanya ekspresi emosional dan kebutuhan untuk didengar. Loud Quitting bukan sekadar bentuk resign, tetapi juga pernyataan sikap terhadap budaya organisasi. Dampak langsungnya bisa lebih terasa daripada Quiet Quitting. Ketika seseorang berhenti secara terbuka, hal itu dapat memicu efek domino: karyawan lain merasa tidak aman, tim kehilangan fokus, dan reputasi organisasi ikut terguncang — terutama bila kasusnya viral di ruang publik.
Baik Quiet Quitting maupun Loud Quitting sama-sama meninggalkan dampak besar bagi organisasi, meskipun cara dan waktu terjadinya berbeda. Quiet Quitting bekerja secara perlahan dan senyap — mengikis produktivitas dari dalam — sementara Loud Quitting menciptakan guncangan yang langsung terasa, terutama terhadap reputasi dan stabilitas tim. Kedua fenomena ini pada dasarnya menjadi cerminan dari kesehatan budaya organisasi dan kualitas hubungan antara manajemen serta karyawan. Berikut adalah beberapa dampak utama yang perlu diperhatikan:
Quiet Quitting sering kali menyebabkan penurunan kualitas kerja yang lambat namun konsisten. Karyawan yang berhenti terlibat secara aktif tidak lagi berusaha mencari solusi terbaik atau berinovasi dalam pekerjaan mereka. Di sisi lain, Loud Quitting bisa menyebabkan gangguan besar secara tiba-tiba—seperti proyek yang tertunda atau target yang tidak tercapai—karena kepergian anggota tim penting secara mendadak.
Melihat rekan kerja yang “menyerah,” baik dengan diam maupun secara terbuka, dapat menurunkan semangat dan rasa aman psikologis dalam tim. Karyawan lain mungkin mulai mempertanyakan stabilitas lingkungan kerja dan apakah suara mereka juga akan diabaikan jika mengalami hal serupa. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan efek domino berupa penurunan keterlibatan kolektif.
Dampak ekonomi dari kedua fenomena ini tidak dapat diabaikan. Organisasi harus mengeluarkan biaya tambahan untuk rekrutmen, proses onboarding, dan pelatihan karyawan baru. Selain itu, waktu adaptasi yang dibutuhkan untuk membangun kembali ritme kerja tim dapat menghambat produktivitas dan efisiensi operasional.
Dalam kasus Loud Quitting, efeknya bisa meluas hingga ke ruang publik. Keluhan karyawan yang viral atau ulasan negatif di media sosial dapat mencoreng citra perusahaan di mata calon kandidat dan mitra bisnis. Reputasi sebagai tempat kerja yang tidak sehat bisa menghambat upaya rekrutmen talenta baru serta mengurangi kepercayaan dari pelanggan atau investor.
Kedua fenomena ini merupakan sinyal peringatan bagi manajemen bahwa ada masalah mendasar yang perlu segera ditangani. Mulai dari kepemimpinan yang kurang empatik, komunikasi internal yang tidak efektif, hingga kurangnya keseimbangan antara tuntutan kerja dan dukungan terhadap kesejahteraan karyawan. Jika dibiarkan, masalah-masalah ini dapat berkembang menjadi krisis budaya organisasi yang sulit dipulihkan.
Secara keseluruhan, Quiet dan Loud Quitting bukan hanya masalah individu, tetapi gejala sistemik dari lingkungan kerja yang kehilangan keseimbangan antara ekspektasi organisasi dan kebutuhan manusiawi karyawan. Menyadarinya lebih awal memberi peluang bagi manajemen untuk melakukan transformasi budaya yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Untuk mencegah dan menangani dua fenomena ini, organisasi perlu membangun fondasi budaya kerja yang sehat, suportif, dan empatik. Quiet Quitting dan Loud Quitting tidak terjadi secara tiba-tiba — keduanya merupakan hasil dari akumulasi rasa frustrasi, kelelahan, dan kurangnya komunikasi antara karyawan dan manajemen. Oleh karena itu, strategi yang efektif harus berfokus pada pencegahan dini, pendampingan berkelanjutan, serta pembangunan kepercayaan jangka panjang antara individu dan organisasi. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Pendekatan menyeluruh ini tidak hanya membantu organisasi mencegah karyawan “keluar” secara emosional, tetapi juga membangun lingkungan kerja yang lebih inklusif, saling menghormati, dan berorientasi pada pertumbuhan bersama. Ketika karyawan merasa didengar dan dihargai, mereka tidak hanya bertahan — mereka tumbuh bersama organisasi.
Baca juga: Generasi Alpha dan Revolusi AI di Dunia Kerja: Ancaman atau Peluang
Quiet Quitting dan Loud Quitting hanyalah dua sisi dari koin yang sama — keduanya menandakan menurunnya keterlibatan dan kepuasan karyawan dalam bekerja. Quiet Quitting lebih senyap namun berdampak jangka panjang pada produktivitas, sedangkan Loud Quitting lebih dramatis dan langsung mengguncang stabilitas serta reputasi organisasi. Akar masalahnya sering kali terletak pada kepemimpinan, komunikasi, dan budaya kerja yang kurang sehat. Dengan membangun lingkungan yang terbuka, adil, dan menghargai kesejahteraan karyawan, organisasi dapat mencegah kedua fenomena ini sekaligus memperkuat loyalitas timnya. Pada akhirnya, organisasi yang mendengar lebih dulu sebelum karyawan “diam” atau “berteriak” adalah organisasi yang mampu tumbuh secara berkelanjutan.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU Konsultan!