Employee Engagement Rendah? Ini Dampaknya ke Bisnismu
Read Time 4 mins | 26 Jun 2025 | Written by: Hastin Lia
Pernah merasa bahwa karyawan sudah hadir tepat waktu, target harian terlihat terpenuhi, tapi bisnis tetap berjalan datar? Banyak pemilik usaha dan manajer hanya melihat angka performa, tanpa menyadari bahwa apa yang dikerjakan belum tentu dilakukan dengan keterlibatan penuh. Di sinilah pentingnya employee engagement—bukan sekadar hadir fisik dan menyelesaikan tugas, tapi keterikatan emosional dan psikologis karyawan terhadap pekerjaan, tim, dan perusahaan. Saat engagement ini rendah, efeknya tidak hanya pada karyawan secara individu, tapi bisa menular dan berdampak besar ke seluruh sistem bisnis. Artikel ini akan membahas berbagai konsekuensi nyata dari rendahnya employee engagement yang kerap diabaikan banyak organisasi.
Bekerja Sekadar Formalitas
Bayangkan karyawan yang datang pagi, membuka laptop, menyelesaikan tugas-tugas rutin, lalu pulang tanpa sedikit pun rasa memiliki terhadap apa yang dikerjakan. Tidak ada keinginan untuk berinovasi, tidak ada rasa tanggung jawab mendalam terhadap hasil kerja. Semuanya dijalankan hanya karena kewajiban. Inilah gambaran paling umum dari kondisi engagement yang rendah.
Dalam jangka pendek, mungkin target masih bisa tercapai. Tapi kualitas kerja akan menurun, efisiensi tim melambat, dan perusahaan kehilangan daya saing. Karyawan yang bekerja tanpa passion cenderung tidak peduli terhadap hasil akhir atau pengaruh kerjanya terhadap tim dan pelanggan. Mereka juga lebih rentan mengalami kelelahan emosional (burnout), karena tidak ada keterikatan yang memberi makna atas pekerjaan mereka.
Laporan dari Gallup menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat employee engagement tinggi memiliki produktivitas 21% lebih tinggi dibanding yang rendah. Artinya, keterlibatan bukan sekadar urusan HR, tapi aset strategis yang langsung mempengaruhi performa bisnis. Ketika karyawan mulai bekerja hanya untuk menggugurkan kewajiban, saat itulah alarm bisnis seharusnya berbunyi.
Baca juga: Mengatasi Glass Ceiling: Cara Perusahaan Menciptakan Kesempatan Setara
Turnover Tinggi, Biaya Bertambah
Salah satu dampak paling terlihat dari engagement rendah adalah tingginya tingkat turnover. Karyawan yang tidak merasa terhubung dengan perusahaan cenderung mudah pindah saat ada tawaran sedikit lebih baik—baik secara finansial maupun lingkungan kerja. Ini bukan hanya masalah kehilangan orang, tapi juga soal kerugian ekonomi dan waktu.
Setiap kali seorang karyawan keluar, perusahaan harus mengeluarkan biaya rekrutmen, pelatihan, hingga masa adaptasi. Belum lagi dampaknya pada produktivitas, karena posisi kosong bisa memperlambat alur kerja tim. Biaya “tersembunyi” ini sering tak terlihat di laporan keuangan, tapi dampaknya nyata: ketidakseimbangan beban kerja, naiknya stres tim yang tersisa, dan terganggunya kolaborasi yang sudah dibangun.
Selain itu, turnover tinggi memberi sinyal negatif bagi karyawan lain—terutama jika yang keluar adalah orang-orang berkinerja tinggi. Mereka bisa mulai mempertanyakan: “Mengapa mereka pergi? Apa saya juga sebaiknya mencari tempat lain?” Dalam waktu singkat, organisasi bisa kehilangan bukan hanya satu, tapi banyak talenta berkualitas.
Maka, menurunnya keterlibatan karyawan seharusnya dilihat sebagai gejala awal dari krisis retensi. Jika tidak segera ditangani, ongkos yang ditanggung perusahaan bisa berlipat ganda—baik secara finansial maupun reputasi.
Tim Tidak Solid, Kolaborasi Melemah
Engagement yang rendah bukan hanya memengaruhi individu, tapi juga dinamika tim. Karyawan yang tidak merasa terlibat cenderung bekerja secara terpisah, tidak antusias berdiskusi, dan jarang menawarkan ide. Mereka hadir secara fisik, tetapi kosong secara kolaboratif.
Kolaborasi yang sehat memerlukan kepercayaan, komunikasi terbuka, dan rasa memiliki terhadap tujuan bersama. Tanpa engagement, ketiganya sulit terbentuk. Akibatnya, tim menjadi kaku, komunikasi tidak mengalir, dan pengambilan keputusan berjalan lambat. Pekerjaan yang semestinya bisa diselesaikan lewat brainstorming malah dikerjakan setengah hati atau secara terpisah.
Kondisi ini menghambat inovasi. Padahal, ide-ide terbaik sering lahir dari diskusi terbuka dan interaksi antar rekan kerja lintas fungsi. Jika karyawan hanya menjalankan bagian mereka tanpa memahami kontribusi terhadap keseluruhan, bisnis kehilangan nilai tambah dari sinergi tim. Dalam jangka panjang, budaya organisasi pun akan terdampak. Perusahaan menjadi tempat kerja yang individualistik dan penuh jarak.
Organisasi yang memiliki engagement tinggi biasanya juga memiliki tim yang lebih kohesif. Karyawan merasa aman menyampaikan ide, saling mendukung, dan lebih mudah bangkit saat menghadapi tantangan. Ini bukan kebetulan, tapi hasil dari investasi dalam membangun keterlibatan yang kuat.
Reputasi Perusahaan Ikut Terpengaruh
Keterlibatan karyawan tidak berhenti di dalam kantor—dampaknya bisa terasa ke luar. Saat engagement rendah, kualitas pelayanan ke pelanggan bisa menurun drastis. Karyawan menjadi kurang responsif, kurang ramah, atau bahkan apatis. Mereka tidak termotivasi untuk memberikan pengalaman terbaik bagi pelanggan, karena merasa itu bukan bagian dari kepentingan mereka.
Komplain dari pelanggan bisa meningkat, rating layanan menurun, dan kepercayaan terhadap merek terganggu. Dalam dunia digital saat ini, satu ulasan buruk bisa menyebar cepat dan merusak citra brand yang telah dibangun bertahun-tahun. Semua itu bisa berawal dari satu hal sederhana: karyawan yang tidak merasa peduli dengan hasil kerjanya.
Selain dampak eksternal, engagement rendah juga memengaruhi employer branding. Perusahaan yang dikenal “dingin” atau tidak peduli terhadap karyawan akan sulit menarik talenta baru. Calon pelamar berkualitas akan lebih memilih tempat kerja yang memberikan ruang tumbuh dan lingkungan yang suportif. Dengan kata lain, perusahaan bisa kehilangan peluang untuk berkembang karena kehilangan daya tariknya di mata calon tenaga kerja.
Keterlibatan bukan hanya membuat karyawan bekerja lebih baik, tapi juga menjadikan mereka duta brand yang membawa citra positif perusahaan ke mana pun mereka pergi. Jika engagement rendah, perusahaan kehilangan jaringan informal yang sangat berharga ini.
Baca juga: PHK Bisa Jadi Peluang? Siapkan Ini Sebelum Terlambat
Kesimpulan
Employee engagement bukan tambahan, tapi fondasi dari organisasi yang sehat dan kompetitif. Karyawan yang merasa terlibat akan bekerja dengan penuh semangat, memberi ide tanpa diminta, dan bertahan saat kondisi sulit. Sebaliknya, engagement yang rendah bisa jadi akar dari banyak masalah: performa menurun, ide mandek, turnover tinggi, dan reputasi runtuh. Jika kamu ingin membangun bisnis yang tahan banting dan terus berkembang, mulailah dari dalam. Dengarkan karyawanmu, libatkan mereka dalam keputusan, dan ciptakan lingkungan kerja yang membuat mereka merasa punya peran penting. Karena ketika karyawan terhubung dengan visi perusahaan, bukan hanya produktivitas yang naik—tapi juga semangat kolektif untuk maju bersama.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU!