Toxic Positivity vs Positive Mindset: Mana yang Sehat untuk Karyawan?
Read Time 4 mins | 31 Jul 2025 | Written by: Hastin Lia
Pernahkah kamu berada di situasi di mana kamu sedang merasa lelah, stres, atau kecewa, lalu seseorang berkata, “Ayo dong, jangan sedih, harus positif!”? Awalnya terdengar mendukung, tapi kalau diulang-ulang, rasanya malah bikin nggak nyaman. Di banyak tempat kerja, budaya “harus selalu positif” sering muncul karena niat baik: ingin menjaga semangat tim dan menjaga suasana kerja kondusif.
Namun, ada perbedaan besar antara toxic positivity dan positive mindset. Yang satu bisa membuat karyawan semakin tertekan secara emosional, sementara yang lain justru membantu menjaga keseimbangan mental. Jadi, mana yang sebenarnya sehat untuk karyawan? Mari kita bahas secara santai namun serius.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah sikap yang selalu memaksakan pikiran positif dan menolak emosi negatif, seolah-olah perasaan seperti sedih, marah, atau frustrasi tidak boleh ada sama sekali.
Contoh di lingkungan kerja:
- Seorang karyawan mengeluh karena beban kerja berlebihan, tapi hanya diberi respons, “Yakin aja, semua pasti bisa kamu atasi, kok!” tanpa mendengarkan masalah sebenarnya.
- Saat ada target yang gagal dicapai, tim langsung dibilang, “Nggak boleh kecewa ya, tetap happy!” padahal mereka sedang butuh ruang untuk evaluasi.
Niatnya memang baik, ingin memberikan semangat. Tapi kalau terlalu sering seperti itu, pesan yang diterima karyawan justru seperti: “Perasaanmu nggak valid.”
Dampak toxic positivity terhadap karyawan:
- Tekanan batin: karyawan merasa harus selalu terlihat kuat dan gembira.
- Penyangkalan emosi: akhirnya banyak yang memilih memendam perasaan daripada bicara.
- Burnout tersembunyi: di luar terlihat baik-baik saja, tapi di dalam hati lelah luar biasa.
Baca juga: Mengukur Dampak Mentoring terhadap Pertumbuhan Karir Mu
Apa Itu Positive Mindset yang Sehat?
Berbeda dengan toxic positivity, positive mindset bukan soal memaksa diri untuk selalu bahagia, melainkan cara berpikir yang fokus pada solusi sambil tetap realistis. Positive mindset menerima kenyataan bahwa ada emosi negatif, tapi tidak larut di dalamnya terlalu lama.
Contoh di lingkungan kerja:
- Saat ada karyawan yang merasa tertekan, rekan kerja atau atasan mendengarkan dulu tanpa menghakimi, kemudian bersama-sama mencari jalan keluar.
- Saat tim gagal mencapai target, mereka diizinkan merasa kecewa, lalu diajak mengevaluasi apa yang bisa diperbaiki.
Manfaat positive mindset bagi karyawan:
- Membantu membangun resiliensi (daya tahan mental) karena emosi negatif diterima dan dikelola dengan baik.
- Meningkatkan produktivitas karena fokus pada solusi nyata, bukan hanya “pura-pura bahagia”.
- Menjaga keseimbangan mental karena ada ruang aman untuk mengekspresikan perasaan.
Perbandingan Toxic Positivity vs Positive Mindset
Untuk memudahkan membedakan keduanya, berikut tabel perbandingan:
Aspek |
Toxic Positivity |
Positive Mindset |
Sikap terhadap emosi |
Menolak emosi negatif, hanya menerima yang positif |
Menerima semua emosi, lalu mengelolanya dengan sehat |
Cara komunikasi |
Memaksakan semangat (“Harus happy!”) |
Memberi empati dan dukungan (“Aku paham kamu lagi lelah, yuk kita cari solusi”) |
Dampak jangka panjang |
Tekanan batin, perasaan tidak divalidasi |
Resiliensi, rasa aman, dan keterbukaan dalam tim |
Budaya kerja yang terbentuk |
Tidak nyaman untuk bicara tentang masalah |
Suportif, terbuka, dan sehat secara mental |
Dampaknya terhadap Lingkungan Kerja
Budaya Toxic Positivity
Jika budaya toxic positivity dibiarkan, bisa terjadi:
- Karyawan takut bicara jujur. Mereka khawatir dianggap “negatif” atau “bikin suasana down” jika mengungkapkan masalah.
- Masalah jadi terpendam. Tanpa ruang diskusi, isu penting tidak terselesaikan, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kinerja tim.
- Stres tersembunyi meningkat. Karyawan terlihat baik-baik saja, padahal di dalam merasa tertekan dan bisa memicu burnout jangka panjang.
Budaya Positive Mindset
Sebaliknya, budaya kerja dengan positive mindset akan:
- Menciptakan rasa aman. Karyawan tahu mereka boleh merasa sedih atau lelah, dan itu tidak masalah.
- Meningkatkan keterbukaan komunikasi. Masalah cepat diidentifikasi dan dicarikan solusi bersama.
- Meningkatkan loyalitas dan produktivitas. Karyawan merasa dihargai dan didukung, sehingga lebih termotivasi untuk bekerja dengan baik.
Tips Menerapkan Positive Mindset di Tempat Kerja
1. Berikan Ruang Aman untuk Emosi
Buat budaya di mana karyawan boleh berbicara tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Ini bisa dilakukan melalui sesi one-on-one, forum diskusi tim, atau sekadar membiasakan sikap saling mendengar.
2. Latih Empati dalam Komunikasi
Ganti kalimat seperti “Sudahlah, jangan sedih!” dengan “Aku paham kamu lagi nggak nyaman, mau cerita dulu?”. Empati sederhana bisa membuat orang merasa dihargai dan didengar.
3. Fokus pada Solusi, Bukan Penyangkalan
Setelah menerima emosi negatif, arahkan percakapan ke solusi: “Oke, kita sudah tahu ini berat, apa langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?” Ini jauh lebih sehat daripada memaksa semua orang untuk “selalu bahagia”.
4. Edukasi dan Pelatihan Mental Health Awareness
Perusahaan bisa mengadakan pelatihan atau workshop tentang kesehatan mental, termasuk membedakan toxic positivity dan positive mindset. Ini membantu karyawan dan atasan memahami cara mendukung satu sama lain secara sehat.
5. Contoh dari Pimpinan
Pemimpin yang terbuka tentang tantangan dan perasaannya akan menjadi contoh baik. Saat atasan berani berkata, “Saya juga merasa lelah, tapi mari kita cari cara bersama-sama,” itu akan menciptakan budaya yang lebih manusiawi dan suportif.
Baca juga: 5 Cara Menemukan Mentor yang Tepat untuk Perjalanan Profesionalmu
Kesimpulan
Budaya positif di tempat kerja memang penting, tetapi cara menerapkannya harus tepat. Toxic positivity yang memaksakan kebahagiaan justru dapat membuat karyawan merasa tidak didengar dan menekan emosi mereka sendiri, sedangkan positive mindset mengajarkan penerimaan emosi negatif sekaligus fokus mencari solusi dengan cara yang sehat. Dengan membangun budaya kerja yang mendukung empati, memberikan ruang aman untuk berdiskusi, dan fokus pada solusi nyata, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara mental, di mana karyawan merasa dihargai, lebih produktif, dan lebih termotivasi.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU Konsultan!