back to blog

Mengapa Toxic Positivity Membahayakan Produktivitas Tim?

Read Time 5 mins | 21 Nov 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

2149361847

Di era kerja modern yang menuntut optimisme tinggi dan kecepatan adaptasi, muncul fenomena yang sering luput dari perhatian seperti Toxic Positivity yaitu budaya atau sikap “harus selalu positif”, tanpa ruang untuk emosi negatif yang wajar. Di permukaan, sikap positif memang tampak baik karena  meningkatkan semangat tim, menciptakan budaya ceria, memacu produktivitas. Namun, ketika optimisme itu dipaksakan atau digunakan untuk menutup tantangan nyata, dampaknya justru bisa serius terhadap produktivitas dan kesehatan psikologis anggota tim. Artikel ini akan menjelaskan mengapa toxic positivity dapat membahayakan produktivitas tim, bagaimana mengenalinya, serta bagaimana mengatasinya secara konstruktif.

Definisi Toxic Positivity

Toxic positivity adalah pola berpikir atau budaya yang menuntut individu untuk selalu menunjukkan sisi positif, bahkan ketika sedang menghadapi tekanan atau kegagalan, sehingga emosi negatif dianggap tidak pantas untuk ditunjukkan. Sebagai contoh, dalam studi “The Dark Side of #PositiveVibes: Understanding Toxic Positivity in Modern Culture” oleh Wyatt Z. (2024) disebutkan bahwa dijelaskan bahwa toxic positivity terjadi ketika pola pikir positif diutamakan secara berlebihan hingga menyingkirkan pengalaman emosional yang sebenarnya. Di lingkungan kerja, hal ini sering muncul sebagai tekanan untuk terus “bersemangat” tanpa adanya ruang aman untuk mengakui tantangan atau kegagalan.

Dalam konteks interaksi organisasi atau pendidikan, penelitian juga menunjukkan bahwa toxic positivity sering muncul dalam bentuk komunikasi yang secara berlebihan menekankan optimisme sementara mengabaikan konteks emosional penerima. Misalnya, dalam jurnal “Perceptions of Verbal Toxic Positivity in Academic Interactions” (Harida et al., 2025) dijelaskan bahwa toxic positivity merupakan bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan positif secara berlebihan tanpa memperhatikan konteks emosional penerimanya. Artinya, masalah bukan pada pesan positif itu sendiri, melainkan pada hilangnya kepekaan dan empati terhadap kondisi psikologis orang lain.

Di ranah organisasi pekerjaan, sebuah analisis bibliometrik dalam jurnal “Bibliometric Analysis of the Term Toxic Positivity in Workplace” (Felicia et al., 2025) mendefinisikan toxic positivity sebagai promosi optimisme secara berlebihan yang disertai dengan penekanan terhadap ekspresi emosi negatif, yang dapat menyebabkan tekanan psikologis, kelelahan emosional, dan penurunan kesejahteraan karyawan. Dari berbagai definisi ini dapat disimpulkan bahwa toxic positivity bukan hanya berbahaya secara emosional, tetapi juga berdampak langsung pada produktivitas tim karena menghambat keaslian emosi, kejujuran komunikasi, dan kesehatan mental di tempat kerja.

Baca juga: Generasi Alpha dan Revolusi AI di Dunia Kerja: Ancaman atau Peluang

Dampak Toxic Positivity terhadap Kinerja dan Produktivitas

Budaya kerja yang terlalu menekankan sikap positif memang terlihat menyenangkan di permukaan. Namun jika dijalankan secara berlebihan, toxic positivity justru bisa melemahkan kinerja tim. Berikut tiga dampak utama yang perlu diwaspadai:

Menekan Emosi dan Menghambat Komunikasi

Ketika anggota tim merasa hanya boleh menampilkan hal-hal positif, mereka cenderung menutupi masalah, rasa lelah, atau kegagalan. Akibatnya, komunikasi menjadi tidak terbuka dan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan lebih awal malah dibiarkan. Seiring waktu, hal ini menurunkan kepercayaan dan menghambat kolaborasi yang sehat di dalam tim.

Meningkatkan Burnout

Dorongan untuk selalu tampak “bahagia dan semangat” membuat karyawan menekan stres dan kelelahan mereka sendiri. Jika terus terjadi, kondisi ini bisa menimbulkan burnout, penurunan motivasi, bahkan keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Produktivitas mungkin tampak tinggi di awal, tetapi menurun drastis ketika energi emosional tim terkuras.

Menurunkan Empati dan Koneksi Sosial

Lingkungan kerja yang tidak memberi ruang bagi emosi negatif membuat hubungan antar rekan kerja menjadi dangkal. Karyawan enggan saling terbuka karena takut dianggap “membawa energi negatif”. Akibatnya, empati berkurang, rasa kebersamaan menurun, dan kerja tim menjadi lebih kaku serta kurang adaptif terhadap tantangan.

Sebagai penutup, penting diingat bahwa positivitas yang sehat bukan berarti menolak emosi negatif, melainkan menyeimbangkan semangat optimis dengan empati dan kejujuran. Tim yang mampu berbicara terbuka tentang keberhasilan maupun kesulitan—akan lebih kuat, lebih kreatif, dan jauh lebih produktif.

Studi Kasus: Ketika Positivity Berlebihan Menghancurkan Tim

Bayangkan sebuah perusahaan yang dengan penuh semangat mengusung slogan, “Tim kita harus selalu melihat sisi terang! Tidak boleh ada keluhan!”. Setiap rapat mingguan dipenuhi kata-kata penyemangat, namun tanpa ruang untuk bicara tentang kesulitan yang dihadapi. Saat ada anggota tim yang mengaku kewalahan oleh tenggat waktu, respons yang muncul hanyalah, “Kita harus tetap positif!”—tanpa diskusi lebih lanjut atau upaya mencari solusi. Pada awalnya, suasana tampak penuh energi, tetapi seiring waktu, suasana optimis itu berubah menjadi tekanan yang membungkam.

Enam bulan kemudian, dampaknya mulai terasa. Beberapa anggota tim memilih absen dari rapat karena merasa setiap keluhan akan dianggap sebagai kelemahan. Ide-ide baru semakin jarang muncul karena orang takut dicap “tidak mendukung semangat tim”. Kreativitas menurun, komunikasi melemah, dan angka turnover meningkat hingga 15%. Bahkan, beberapa proyek tertunda karena masalah di lapangan tidak pernah benar-benar dibahas. Budaya positif yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga semangat justru berubah menjadi penghalang transparansi.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ketika organisasi menolak ekspresi emosi negatif dan menuntut optimisme tanpa batas, mereka sebenarnya menciptakan ruang bagi “perjuangan diam-diam” di antara karyawan. Individu merasa terisolasi, tidak didengar, dan kehilangan koneksi emosional dengan timnya. Inilah bentuk nyata bagaimana positivitas yang berlebihan bisa menghancurkan produktivitas—bukan karena kurangnya niat baik, melainkan karena hilangnya keseimbangan antara semangat dan empati.

Cara Mengatasi dan Mencegah Toxic Positivity

Untuk membangun lingkungan kerja yang benar-benar sehat, organisasi perlu menyeimbangkan semangat positif dengan empati dan kejujuran emosional. Positivitas yang bijak bukan berarti menolak keluhan, melainkan memberi ruang bagi perasaan manusiawi agar tidak berubah menjadi tekanan batin. Berikut beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan:

  • Normalisasi emosi negatif: Pastikan setiap anggota tim memahami bahwa merasa kesulitan, kecewa, atau lelah adalah hal yang wajar. Pemimpin dapat menunjukkan contoh dengan terbuka mengakui tantangan yang dihadapi tim dan mengubahnya menjadi pembelajaran bersama. Pendekatan ini membantu menciptakan rasa aman dan kepercayaan di antara anggota tim.
  • Latih empati dan kemampuan mendengar aktif: Pemimpin maupun HR perlu melatih kemampuan untuk benar-benar mendengarkan, bukan hanya menunggu giliran bicara. Dengan mendengar secara terbuka, mengakui emosi orang lain, dan bertanya dengan rasa ingin tahu yang tulus, pemimpin bisa membantu karyawan merasa dihargai serta mengurangi rasa tertekan akibat budaya “selalu positif”.
  • Bangun budaya keseimbangan emosional: Lingkungan kerja yang sehat adalah tempat di mana keberhasilan dirayakan, tetapi kesulitan juga diakui. Misalnya, dalam evaluasi proyek, selain menyoroti pencapaian, sempatkan waktu untuk membahas hambatan dan perasaan tim selama proses berjalan. Hal sederhana ini membuat semangat kerja lebih realistis dan berkelanjutan.
  • Libatkan HR atau psikolog organisasi: Bila memungkinkan, adakan sesi reguler untuk menjaga kesehatan mental tim, seperti check-in bulanan atau survei anonim. Langkah ini membantu mendeteksi tekanan emosional sejak dini dan menunjukkan bahwa perusahaan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya, bukan hanya hasil kerjanya.
  • Gunakan ukuran produktivitas yang holistik: Produktivitas bukan sekadar seberapa banyak pekerjaan diselesaikan, tetapi juga bagaimana kualitas, keseimbangan, dan kolaborasi di dalamnya. Hindari indikator kinerja yang membuat karyawan merasa harus selalu tampil bahagia, cepat, dan sempurna tanpa memperhatikan kondisi mereka yang sebenarnya.
  • Bangun komunikasi terbuka dan umpan balik dua arah: Dorong karyawan untuk berbicara jujur tentang budaya kerja tanpa takut dihakimi. Buat sistem umpan balik yang berkelanjutan agar organisasi dapat memperbaiki diri secara konsisten dan menghindari sikap “toxic optimism” yang menutup realita.

Sebagai penutup, penting diingat bahwa tujuan dari lingkungan kerja yang positif bukanlah menghapus emosi negatif, melainkan menyeimbangkannya dengan kejujuran dan empati. Dengan cara itu, tim dapat tumbuh lebih tangguh, saling memahami, dan mencapai produktivitas yang berkelanjutan tanpa kehilangan sisi manusianya.

Baca juga: Tantangan yang Dihadapi Karyawan di Perusahaan Multinasional

Kesimpulan

Budaya “selalu positif” memang tampak ideal karena menumbuhkan semangat dan citra tim yang energik, namun jika dijalankan tanpa ruang untuk kejujuran dan realitas, ia bisa menjadi jebakan yang melemahkan. Toxic positivity menekan komunikasi terbuka, menambah beban emosional, dan menurunkan empati antar rekan kerja, hingga akhirnya menghambat produktivitas. Positivitas yang sehat bukan berarti menolak emosi negatif, tetapi mengelolanya secara konstruktif. Tim yang kuat adalah tim yang berani jujur, saling mendengar, dan tumbuh bersama dari tantangan—bukan yang sekadar tampak bahagia di permukaan.

Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU Konsultan!

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy, IT dan Human Cyber Risk Management.

Floating WhatsApp Button - Final Code (Text Box Smaller All)
WhatsApp Icon Buna