Proses wawancara kerja merupakan momen krusial dalam menentukan kandidat terbaik untuk bergabung dengan sebuah organisasi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit HRD atau pewawancara yang terlalu fokus pada hard skill dan pengalaman kerja, sehingga mengabaikan tanda-tanda peringatan atau red flags yang muncul selama interview. Padahal, sinyal-sinyal kecil ini bisa jadi indikasi besar bahwa kandidat tersebut berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, baik dari sisi kinerja maupun budaya kerja.
Red flags adalah tanda atau indikasi awal bahwa ada sesuatu yang perlu diwaspadai dari seorang kandidat. Dalam konteks interview, red flags bisa muncul dari cara seseorang menjawab pertanyaan, ekspresi wajah, sikap, atau bahkan inkonsistensi dalam informasi yang disampaikan.
Berbeda dengan kesalahan minor seperti gugup atau lupa menyebut nama perusahaan sebelumnya, red flags biasanya mengarah pada aspek yang lebih mendalam, seperti ketidakjujuran, kurangnya komitmen, atau ketidakcocokan nilai dengan budaya perusahaan. Jika tidak diperhatikan dengan jeli, HRD bisa melewatkan kandidat bermasalah yang pada akhirnya berdampak negatif pada tim maupun organisasi secara keseluruhan.
Baca juga: Strategi Membedakan Kandidat IT Biasa dan High Performer
Salah satu red flags paling umum tapi sering kali dianggap sepele adalah ketidaksesuaian antara isi CV dengan jawaban yang diberikan kandidat. Misalnya, seorang kandidat menuliskan bahwa ia memiliki pengalaman tiga tahun sebagai manajer proyek, namun saat ditanya lebih dalam, ia kesulitan menjelaskan tahapan manajemen proyek yang pernah dijalankan atau kontribusinya dalam tim.
Ketidaksesuaian ini bisa menjadi pertanda bahwa kandidat membesar-besarkan atau bahkan mengada-ada informasi di CV-nya. Sayangnya, HRD sering kali tidak mendalaminya lebih lanjut karena terbatasnya waktu interview atau rasa sungkan untuk mengecek secara kritis. Padahal, klarifikasi terhadap hal-hal seperti ini sangat penting untuk memastikan keaslian pengalaman kerja seseorang.
Saat kandidat terlihat enggan menjawab alasan berhenti dari pekerjaan sebelumnya, atau memberikan jawaban yang terlalu umum seperti "ingin mencari tantangan baru" tanpa penjelasan yang kuat, ini bisa menjadi red flag.
Memang tidak semua orang nyaman membicarakan alasan berhenti kerja, apalagi jika berhubungan dengan konflik. Namun, kemampuan seseorang untuk menjelaskan dengan cara yang profesional juga mencerminkan kedewasaan dan integritasnya. Bila HRD langsung menerima jawaban permukaan tanpa mengeksplorasi lebih lanjut, maka mereka berpotensi merekrut kandidat dengan riwayat masalah yang belum selesai.
Sikap negatif terhadap atasan atau tempat kerja sebelumnya sering kali menjadi pertanda karakter yang kurang profesional. Kandidat yang dengan mudah menyalahkan orang lain atau lingkungan kerja sebelumnya cenderung memiliki pola pikir yang defensif dan tidak bertanggung jawab atas kegagalannya sendiri.
HRD yang tidak peka terhadap hal ini mungkin menganggapnya sebagai bentuk kejujuran atau keterbukaan. Padahal, ini bisa jadi indikator bahwa kandidat akan sulit bekerja dalam tim, tidak loyal, atau bahkan membawa drama internal yang merugikan dinamika kerja.
Di era digital seperti sekarang, banyak kandidat mempersiapkan diri dengan mencari contoh jawaban interview dari internet. Tidak ada yang salah dengan persiapan, namun ketika jawaban yang diberikan terasa seperti hafalan tanpa makna atau tidak nyambung dengan konteks pribadi kandidat, maka perlu diwaspadai.
Kandidat yang hanya memberikan jawaban textbook biasanya tidak memiliki pengalaman nyata atau tidak mampu merefleksikan pengalamannya dengan baik. HRD yang jeli akan menggali lebih jauh dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang menuntut contoh konkret atau studi kasus nyata. Jika tidak, mereka berisiko merekrut seseorang yang hanya terlihat baik di permukaan.
Pertanyaan tentang gaji dan benefit tentu wajar dan sah-sah saja. Namun, ketika hal tersebut menjadi fokus utama bahkan sebelum kandidat mengenal lebih jauh tentang posisi dan tanggung jawabnya, ini bisa menjadi pertanda bahwa motivasi utamanya adalah keuntungan finansial semata.
Kandidat seperti ini sering kali kurang memiliki komitmen jangka panjang. Mereka akan cepat berpindah ke tempat lain begitu ada tawaran yang lebih tinggi. HRD yang terlalu cepat tergoda oleh CV yang mengesankan tanpa mempertimbangkan aspek ini, bisa jadi akan menghadapi tantangan retensi dalam waktu dekat.
Salah satu tanda kandidat yang tidak serius adalah tidak adanya rasa ingin tahu terhadap posisi atau perusahaan yang dilamar. Mereka datang interview tanpa riset, tidak tahu produk perusahaan, dan tidak mengajukan pertanyaan berarti di akhir sesi.
Kurangnya antusiasme ini menunjukkan bahwa kandidat mungkin hanya melamar secara massal tanpa mempertimbangkan kecocokan. Bila HRD tidak menyadari hal ini dan tetap melanjutkan proses hanya karena terpikat oleh latar belakang akademik atau pengalaman kerja, maka mereka berisiko merekrut orang yang tidak benar-benar tertarik bekerja di perusahaan tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa red flags ini kerap diabaikan dalam proses interview. Pertama, HRD sering diburu waktu. Dalam kondisi kekurangan tenaga kerja atau tekanan untuk segera mengisi posisi kosong, evaluasi kandidat menjadi lebih cepat dan kurang mendalam. Akibatnya, hal-hal kecil yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan justru terlewat.
Kedua, banyak HRD lebih fokus pada aspek teknis dan hard skill. Selama kandidat bisa menunjukkan portofolio atau menjawab pertanyaan teknis dengan baik, aspek sikap dan nilai sering kali dinomorduakan. Padahal, dalam praktiknya, konflik atau kegagalan kerja lebih sering dipicu oleh faktor sikap, bukan kemampuan teknis.
Ketiga, pewawancara bisa saja terjebak bias, seperti terlalu percaya pada penampilan profesional, almamater terkenal, atau pengalaman kerja di perusahaan besar. Bias semacam ini membuat mereka tidak cukup kritis terhadap sinyal-sinyal negatif yang sebenarnya sudah terlihat.
Terakhir, kurangnya pelatihan interview yang mendalam juga menjadi penyebab utama. Tidak semua HRD dibekali dengan kemampuan untuk membaca bahasa tubuh, mengenali pola jawaban manipulatif, atau menggali motivasi kandidat secara efektif. Tanpa alat dan wawasan yang cukup, red flags pun mudah luput dari perhatian.
Untuk meminimalkan risiko merekrut kandidat yang bermasalah, HRD perlu melakukan pendekatan yang lebih strategis dan mendalam dalam proses wawancara. Berikut beberapa cara yang bisa diterapkan:
Baca juga: Adaptasi HR di Era Hybrid: Solusi Seleksi Karyawan Modern
Red flags dalam interview bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi dikenali dan dianalisis secara bijak. Sebagai HRD, Anda memiliki peran penting dalam menjaga kualitas rekrutmen, tidak hanya dari sisi kemampuan teknis kandidat, tetapi juga dari sisi nilai, motivasi, dan integritasnya. Dengan lebih peka terhadap tanda-tanda peringatan yang sering luput dari perhatian, Anda tidak hanya menyaring kandidat yang baik, tetapi juga menjaga budaya kerja yang sehat dan produktif di perusahaan.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU!