back to blog

Kenapa Memahami Behavioral Science Itu Penting dalam Merekrut Karyawan

Read Time 5 mins | 13 Mei 2025 | Written by: Hastin Lia

4675

Proses rekrutmen merupakan salah satu tahap paling krusial dalam manajemen sumber daya manusia. Mencari karyawan yang tidak hanya kompeten tetapi juga sesuai dengan budaya dan kebutuhan perusahaan bukanlah tugas yang sederhana. Tidak jarang, perusahaan merekrut kandidat yang tampak ideal di atas kertas, namun akhirnya tidak menunjukkan performa seperti yang diharapkan ketika telah bergabung. Masalah seperti ini bisa terjadi karena proses rekrutmen yang hanya berfokus pada aspek teknis dan kurang memperhatikan sisi perilaku serta karakter kandidat.

Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan berbasis ilmu perilaku atau behavioral science semakin populer dalam dunia rekrutmen. Pendekatan ini membawa perspektif baru dalam memahami bagaimana manusia berpikir, bertindak, dan membuat keputusan—yang kesemuanya sangat relevan dalam konteks dunia kerja. Artikel ini akan mengulas mengapa memahami behavioral science menjadi penting dalam proses rekrutmen dan bagaimana penerapannya dapat membantu perusahaan menemukan kandidat terbaik, tidak hanya dari segi kemampuan tetapi juga dari segi kecocokan perilaku dan potensi jangka panjang.

Apa Itu Behavioral Science dan Aplikasinya di Dunia Kerja

Behavioral science atau ilmu perilaku merupakan bidang interdisipliner yang menggabungkan ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, dan antropologi untuk memahami bagaimana manusia bertindak dan membuat keputusan dalam konteks tertentu. Dalam dunia kerja, behavioral science membantu menjawab pertanyaan seperti: Mengapa seseorang memilih untuk tetap tinggal atau keluar dari sebuah pekerjaan? Apa yang memengaruhi tingkat motivasi seorang karyawan? Bagaimana orang merespons tekanan atau tantangan?

Dalam konteks rekrutmen, ilmu perilaku digunakan untuk menggali lebih dalam tentang siapa kandidat sebenarnya—apa nilai-nilainya, bagaimana ia bereaksi terhadap konflik, bagaimana ia mengambil keputusan, dan sejauh mana ia bisa beradaptasi dalam lingkungan kerja tertentu. Penerapan ilmu ini bisa berupa wawancara berbasis perilaku (behavioral interview), asesmen berbasis situasi, hingga penggunaan alat tes psikometrik untuk mengukur kepribadian, gaya kepemimpinan, atau bahkan tingkat kecenderungan kolaboratif seseorang.

Baca juga: 5 Tanda Kandidat Berkualitas yang Harus Diketahui Rekrutmen 

Tantangan Rekrutmen Konvensional

Banyak perusahaan masih mengandalkan pendekatan tradisional dalam rekrutmen, yang sering kali hanya menilai calon karyawan berdasarkan CV, pengalaman kerja, dan kemampuan teknis yang tercantum di atas kertas. Sementara itu, proses wawancara pun sering berlangsung secara bebas (unstructured interview), di mana pewawancara hanya mengandalkan intuisi atau kesan awal terhadap kandidat. Pendekatan semacam ini menyimpan banyak risiko.

Pertama, pendekatan konvensional cenderung menimbulkan bias, baik yang disadari maupun tidak. Unconscious bias seperti bias terhadap latar belakang pendidikan, gender, atau cara bicara dapat memengaruhi penilaian objektif. Kedua, proses yang terlalu berfokus pada kemampuan teknis sering mengabaikan aspek penting seperti integritas, empati, atau kemampuan bekerja dalam tim—yang justru sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam organisasi.

Ketiga, wawancara tradisional sulit mengukur cultural fit, yaitu kesesuaian kandidat dengan budaya dan nilai-nilai perusahaan. Tidak sedikit karyawan yang akhirnya mengundurkan diri dalam enam bulan pertama karena merasa tidak cocok, bukan karena tidak mampu secara teknis. Keempat, hasil wawancara tidak selalu mencerminkan performa kerja nyata. Banyak kandidat yang pandai menjawab pertanyaan wawancara, tetapi kesulitan menghadapi tekanan atau dinamika kerja di kemudian hari.

Manfaat Behavioral Science dalam Proses Rekrutmen

Mengintegrasikan behavioral science dalam proses rekrutmen membawa banyak manfaat, terutama dalam menghasilkan keputusan perekrutan yang lebih akurat, adil, dan berkelanjutan.

1. Mengidentifikasi Pola Perilaku Kandidat secara Objektif

Salah satu keunggulan pendekatan berbasis perilaku adalah kemampuannya untuk menggali pengalaman nyata kandidat. Dalam wawancara berbasis perilaku, pewawancara tidak hanya menanyakan apa yang “akan” dilakukan kandidat, tetapi lebih fokus pada apa yang “pernah” dilakukan dalam situasi tertentu. Misalnya: “Ceritakan saat Anda menghadapi konflik dalam tim dan bagaimana Anda menanganinya.”

Dengan meninjau perilaku masa lalu, perusahaan dapat memprediksi perilaku masa depan secara lebih akurat. Pendekatan ini mendorong kandidat untuk menunjukkan kompetensi melalui contoh konkret, bukan hanya jawaban teoretis atau klise.

2. Mengurangi Bias dalam Pengambilan Keputusan

Behavioral science juga memberi alat dan kerangka kerja untuk mengurangi bias dalam proses rekrutmen. Dengan menggunakan wawancara terstruktur dan penilaian yang berdasarkan data, pewawancara dapat lebih fokus pada bukti perilaku dan hasil nyata daripada kesan subjektif.

Selain itu, banyak perusahaan kini mulai menyadari pentingnya keberagaman dalam tim. Pendekatan berbasis perilaku membantu membuka ruang bagi kandidat dari berbagai latar belakang, karena penilaian tidak hanya berdasarkan “pengalaman ideal” yang sering kali bias terhadap kalangan tertentu, tetapi juga pada potensi dan keunikan kontribusi masing-masing individu.

3. Memprediksi Kinerja dan Adaptasi Kandidat

Salah satu tantangan utama dalam rekrutmen adalah memastikan bahwa kandidat mampu beradaptasi dengan cepat dan memberikan kontribusi dalam jangka panjang. Dengan pendekatan perilaku, perusahaan dapat memprediksi bagaimana seseorang akan bertindak dalam kondisi kerja nyata—baik dalam tekanan, dalam dinamika tim, maupun dalam situasi konflik.

Misalnya, asesmen berbasis simulasi bisa digunakan untuk menguji bagaimana kandidat menyelesaikan tugas dalam skenario tertentu. Hasilnya bisa memberikan gambaran tentang pengambilan keputusan, gaya komunikasi, dan cara kerja yang tidak bisa dilihat hanya dari CV atau hasil wawancara umum.

4. Menyesuaikan Kandidat dengan Budaya Perusahaan

Setiap perusahaan memiliki nilai, budaya, dan cara kerja yang berbeda. Kesesuaian antara nilai pribadi kandidat dan nilai perusahaan sangat penting untuk menciptakan harmoni dalam tim dan menghindari turnover dini.

Dengan memahami perilaku kandidat secara lebih mendalam, perusahaan dapat menilai sejauh mana kandidat akan merasa “di rumah” dalam organisasi tersebut. Hal ini tentu akan berdampak langsung pada retensi, kepuasan kerja, dan kolaborasi tim jangka panjang.

Praktik Nyata: Bagaimana Menerapkan Behavioral Science dalam Rekrutmen

Penerapan behavioral science tidak harus rumit. Banyak metode yang bisa diintegrasikan ke dalam proses rekrutmen sehari-hari, baik oleh perusahaan besar maupun menengah.

1. Gunakan Wawancara Terstruktur dan Wawancara Perilaku

Pastikan pertanyaan wawancara dirancang dengan baik dan seragam antar kandidat. Gunakan metode STAR (Situation, Task, Action, Result) untuk menggali contoh konkret dari pengalaman kerja sebelumnya. Ini akan memberikan gambaran lebih jelas tentang kemampuan kandidat menghadapi situasi nyata.

2. Terapkan Tes Psikometrik dan Asesmen Situasional

Gunakan alat tes kepribadian atau tes kognitif yang valid dan reliabel untuk mengukur gaya kerja, tingkat stres, atau kecenderungan interpersonal kandidat. Asesmen situasional (Situational Judgment Test) juga bisa membantu melihat respons kandidat dalam situasi yang mungkin terjadi di tempat kerja.

3. Latih Pewawancara untuk Mengenali Bias

Berikan pelatihan tentang unconscious bias dan cara menghindarinya. Kesadaran akan adanya bias adalah langkah awal menuju proses rekrutmen yang lebih objektif dan inklusif.

4. Analisis Data Kandidat Secara Longitudinal

Gunakan data historis untuk memahami pola-pola tertentu yang berkontribusi pada kinerja karyawan. Misalnya, data karyawan dengan performa tinggi bisa digunakan sebagai acuan untuk menilai kandidat baru yang memiliki profil perilaku serupa.

Baca juga: LinkedIn atau Job Portal, Mana Strategi Tepat Rekrut IT

Kesimpulan

Memahami behavioral science dalam konteks rekrutmen bukanlah sebuah tren semata, melainkan kebutuhan nyata untuk meningkatkan kualitas keputusan perekrutan. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat menggali lebih dalam siapa kandidat sebenarnya, mengurangi bias yang merugikan, serta meningkatkan kecocokan antara individu dan organisasi. Hasil akhirnya bukan hanya karyawan yang lebih berkinerja dan bertahan lama, tetapi juga lingkungan kerja yang lebih sehat, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan.

Anda bisa mengunjungi MSBU, layanan IT staffing dan rekrutmen yang dapat membantu perusahaan Anda menemukan kandidat terbaik dengan lebih aman dan efisien.

Hastin Lia

Passionate di dunia IT, sering berbagi tentang teknologi, keamanan data, dan solusi digital.