Diversity & Inclusion (D&I) adalah salah satu topik yang semakin sering terdengar di ruang-ruang diskusi HR, forum bisnis, hingga strategi perusahaan multinasional. Namun, meski istilahnya kerap diulang, tidak semua orang memahaminya dengan benar. Akibatnya, muncul berbagai persepsi keliru yang mengaburkan tujuan sebenarnya dari D&I.
Di sisi lain, perusahaan yang berhasil menerapkan D&I dengan tepat sering kali melaporkan peningkatan inovasi, kolaborasi, dan kinerja bisnis. Tetapi sayangnya, tidak sedikit yang menjalankannya hanya sebagai formalitas—sekadar memenuhi laporan atau ikut tren—sehingga manfaatnya tidak terasa.
Artikel ini akan membedah beberapa mitos populer seputar D&I, lalu mengungkap faktanya berdasarkan data, studi kasus, dan pengalaman di dunia kerja.
Banyak orang menganggap keberagaman di tempat kerja hanya diukur dari keberadaan karyawan dengan latar belakang ras atau gender yang berbeda. Memang, dua faktor ini sering menjadi fokus awal, terutama di negara-negara dengan sejarah diskriminasi yang kuat.
Faktanya: Diversity jauh lebih luas. Ia mencakup berbagai dimensi seperti usia, orientasi seksual, agama, disabilitas, status sosial-ekonomi, latar belakang pendidikan, gaya berpikir, bahkan preferensi kerja. Perusahaan yang membatasi pemahaman diversity hanya pada ras dan gender cenderung kehilangan potensi dari keberagaman perspektif lain yang sama pentingnya.
Contohnya, tim yang terdiri dari anggota dengan rentang usia beragam sering menghasilkan solusi yang lebih kaya, karena memadukan pengalaman jangka panjang dengan sudut pandang segar generasi muda.
Baca juga: Langkah Praktis Menerapkan DEI dalam Proses Rekrutmen
Ada anggapan bahwa begitu tim memiliki anggota yang beragam, otomatis suasana kerja akan inklusif. Kenyataannya tidak sesederhana itu.
Faktanya: Inclusion membutuhkan strategi dan upaya berkelanjutan. Keberagaman hanya menciptakan potensi—tetapi tanpa budaya inklusif, potensi itu bisa hilang karena anggota tim merasa suaranya tidak dihargai.
Bayangkan perusahaan yang mempekerjakan banyak karyawan perempuan di level manajerial, tetapi keputusan penting masih didominasi suara pria. Di atas kertas, perusahaan tersebut terlihat “diverse,” namun pada praktiknya belum benar-benar inklusif.
Banyak UKM dan startup menganggap D&I adalah “urusan perusahaan besar” yang punya sumber daya melimpah untuk program pelatihan, rekrutmen khusus, atau kampanye kesetaraan.
Faktanya: D&I relevan untuk semua skala bisnis. Bahkan, di startup atau tim kecil, keberagaman sering menjadi sumber kreativitas yang mendorong inovasi.
Perbedaan latar belakang membantu tim melihat masalah dari berbagai sudut, menemukan solusi unik, dan memahami pasar lebih luas. Implementasi D&I di perusahaan kecil tidak selalu memerlukan anggaran besar—yang dibutuhkan adalah niat, komitmen, dan kebijakan sederhana yang adil.
Ada kekhawatiran bahwa mengutamakan D&I akan mengalihkan fokus dari produktivitas atau membuat standar perekrutan menurun demi memenuhi kuota keberagaman.
Faktanya: Penelitian menunjukkan sebaliknya. McKinsey, Deloitte, dan Harvard Business Review melaporkan bahwa perusahaan dengan keberagaman tinggi memiliki kinerja finansial lebih baik, tingkat inovasi lebih tinggi, dan retensi karyawan yang lebih kuat.
Mengintegrasikan D&I ke strategi bisnis bukan berarti menurunkan standar, melainkan memperluas pencarian talenta. Dengan akses ke basis kandidat yang lebih luas, peluang menemukan individu berkemampuan tinggi justru meningkat.
Beberapa orang melihat D&I sebagai isu populer yang akan redup seiring waktu, seperti tren manajemen lainnya.
Faktanya: D&I adalah respons terhadap perubahan demografi global, pergeseran nilai generasi, dan tuntutan konsumen yang semakin sadar akan isu sosial. Ini bukan sekadar program jangka pendek, tetapi strategi jangka panjang untuk menjaga relevansi perusahaan.
Generasi Z, misalnya, cenderung memilih bekerja di perusahaan yang mencerminkan nilai-nilai keberagaman dan inklusi. Mereka juga lebih loyal pada perusahaan yang konsisten menjalankan komitmen ini, bukan hanya mempromosikannya di media sosial.
Sering kali D&I dilihat sebagai tugas eksklusif tim HR, mulai dari rekrutmen hingga pelatihan.
Faktanya: D&I adalah tanggung jawab kolektif seluruh organisasi, termasuk pimpinan puncak. Budaya inklusif perlu dihidupi oleh semua lini, mulai dari eksekutif yang mengambil keputusan strategis, manajer yang mengelola tim sehari-hari, hingga individu yang saling berinteraksi.
Ketika D&I hanya menjadi agenda HR, ia berisiko terjebak sebagai formalitas administratif. Sebaliknya, jika diintegrasikan ke strategi bisnis, ia bisa menjadi kekuatan kompetitif yang nyata.
Ada pandangan bahwa D&I hanyalah “kebaikan sosial” tanpa efek nyata pada hasil bisnis.
Faktanya: Keberagaman memicu inovasi dengan menghadirkan beragam perspektif, cara berpikir, dan pengalaman hidup. Tim yang inklusif cenderung lebih berani mengemukakan ide, menguji hipotesis, dan menemukan solusi out-of-the-box.
Studi di Boston Consulting Group menemukan bahwa perusahaan dengan tim manajemen yang beragam menghasilkan pendapatan inovasi 19% lebih tinggi dibanding yang homogen. Artinya, D&I bukan hanya “hal yang baik untuk dilakukan,” tetapi juga “hal yang pintar untuk bisnis.”
Meski manfaatnya jelas, menerapkan D&I tidak lepas dari tantangan. Hambatan budaya, bias tak sadar (unconscious bias), dan resistensi internal sering menjadi penghalang. Oleh karena itu, perusahaan perlu:
Kesuksesan D&I bukan soal mencapai angka tertentu, tetapi menciptakan ekosistem kerja di mana semua orang merasa dihargai dan diberi kesempatan berkembang.
Baca juga: 5 Tools Rekrutmen Online Gratis untuk Perekrutan Efisien
Diversity & Inclusion bukan jargon kosong atau tren sesaat. Ia adalah strategi yang memadukan nilai kemanusiaan dengan kepentingan bisnis. Memahami mitos dan fakta seputar D&I adalah langkah pertama untuk memastikan perusahaan tidak hanya terlihat inklusif di luar, tetapi juga benar-benar membangun budaya yang menghargai perbedaan.
Mulailah dengan mengevaluasi kebijakan internal, mendengarkan suara karyawan, dan memastikan keberagaman hadir di setiap lapisan organisasi. Karena di dunia kerja masa depan, keberagaman dan inklusi bukan lagi pilihan—ia adalah syarat untuk bertahan dan berkembang.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU Konsultan!