Dalam dunia kerja modern, perempuan masih menghadapi tantangan yang tidak selalu terlihat namun nyata dampaknya, yaitu Glass Ceiling. Istilah ini merujuk pada hambatan tak kasatmata yang membatasi perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam karier mereka, meski memiliki kompetensi dan prestasi yang setara dengan laki-laki. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga menghambat potensi organisasi karena berkurangnya keberagaman dalam pengambilan keputusan strategis.
Secara sederhana, Glass Ceiling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan batas tak terlihat yang menghalangi perempuan—dan juga kelompok minoritas lain—untuk naik ke posisi manajerial atau eksekutif tertinggi. Disebut “glass” atau kaca karena hambatan ini tidak tampak secara kasat mata, namun efeknya sangat terasa ketika perempuan berusaha menapaki jenjang karier yang lebih tinggi.
Fenomena ini ibarat atap transparan yang membatasi ruang gerak. Dari luar, tampaknya semua orang memiliki kesempatan yang sama, tetapi kenyataannya, banyak perempuan terhenti di titik tertentu meskipun memiliki kinerja, pengalaman, dan kemampuan yang mumpuni. Hambatan ini membuat perjalanan karier mereka tidak semulus yang seharusnya.
Istilah Glass Ceiling mulai populer pada tahun 1980-an di Amerika Serikat, setelah muncul berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa meski semakin banyak perempuan terjun ke dunia kerja, hanya sedikit yang berhasil menduduki posisi senior atau eksekutif. Hambatan tersebut bukan berasal dari kurangnya kualifikasi, melainkan dari faktor budaya, bias gender, dan sistem organisasi yang masih cenderung memihak laki-laki.
Baca juga: Generasi Baby Boomer, X, Y, Z: Apa Bedanya di Dunia Kerja?
Fenomena Glass Ceiling hadir dalam berbagai bentuk yang sering kali dianggap “normal” dalam dunia kerja, padahal berdampak besar pada karier perempuan. Beberapa contohnya:
Berbagai bentuk hambatan ini menunjukkan bahwa Glass Ceiling bukanlah sekadar isu individu, melainkan masalah sistemik yang membutuhkan perubahan menyeluruh dari budaya organisasi, kebijakan, hingga pola pikir di lingkungan kerja.
Fenomena Glass Ceiling tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk dari kombinasi faktor sosial, budaya, dan struktural yang sudah mengakar dalam dunia kerja. Hambatan ini sering kali tidak disadari, tetapi dampaknya sangat nyata dalam memperlambat laju karier perempuan. Beberapa faktor utamanya adalah:
Jika faktor-faktor ini tidak ditangani, Glass Ceiling akan terus bertahan sebagai hambatan sistemik. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan pola pikir, kebijakan yang lebih inklusif, serta dukungan lintas level agar perempuan bisa memiliki kesempatan yang sama dalam meraih puncak karier. Perubahan ini bukan hanya tanggung jawab perempuan semata, tetapi juga organisasi dan masyarakat luas yang ingin menciptakan lingkungan kerja lebih adil dan progresif.
Glass Ceiling bukan sekadar istilah akademis, melainkan realitas yang membawa konsekuensi nyata bagi banyak perempuan di dunia kerja. Hambatan ini tidak hanya mempengaruhi perkembangan individu, tetapi juga berimbas pada perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut laporan McKinsey Women in the Workplace 2023, perusahaan dengan lebih banyak pemimpin perempuan cenderung lebih inovatif dan memiliki performa finansial lebih baik. Artinya, Glass Ceiling bukan hanya masalah etika, tapi juga merugikan bisnis secara nyata. Jika hambatan ini tidak segera diatasi, dampaknya bisa meluas: mengurangi daya saing perusahaan, memperlebar kesenjangan sosial, dan menghambat terciptanya ekosistem kerja yang inklusif.
Menghapus Glass Ceiling bukanlah pekerjaan mudah, tetapi hal ini sangat mungkin dicapai jika ada kesadaran dan komitmen bersama. Fenomena ini tidak bisa dipecahkan oleh satu pihak saja, melainkan membutuhkan kolaborasi antara perusahaan, individu, dan pemerintah.
Beberapa perusahaan multinasional bahkan telah membuat program khusus untuk mempercepat promosi perempuan ke level manajemen, dan hasilnya cukup positif: meningkatnya keterwakilan perempuan di kursi eksekutif. Hal ini membuktikan bahwa ketika kebijakan dan aksi nyata diterapkan, Glass Ceiling bisa dipatahkan. Dengan demikian, organisasi tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang adil, tetapi juga memperkuat daya saing melalui keberagaman dan inklusi.
Menurut Global Gender Gap Report 2024 dari World Economic Forum, pada laju saat ini, diperkirakan diperlukan sekitar 134 tahun untuk mencapai kesetaraan gender penuh dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik, dan peluang kerja. Fakta ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan, perjalanan menuju kesetaraan masih sangat panjang dan membutuhkan intervensi nyata dari berbagai pihak.
Di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata upah pekerja perempuan masih jauh di bawah laki-laki. Data BPS per Februari 2025 mencatat upah rata-rata pekerja laki-laki sekitar Rp 3,37 juta/bulan, sementara pekerja perempuan rata-rata hanya Rp 2,61 juta/bulan. Kesenjangan upah ini bahkan lebih terasa di perdesaan, mencapai 28,51%, dibandingkan perkotaan yang sebesar 20,78%. Angka tersebut menegaskan bahwa perempuan masih menghadapi hambatan struktural dalam mendapatkan penghargaan yang setara atas pekerjaan mereka.
Meski demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gap gender bisa dikecilkan dengan kebijakan dan model fleksibel. Misalnya, studi “The Gender Pay Gap and Its Impact on Women’s Economic Empowerment” oleh Putri, Firmansyah & Sihaloho (2023) menemukan bahwa perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sekitar 22,09% — lebih rendah dibanding beberapa laporan sebelumnya, namun tetap signifikan. Ini mengindikasikan bahwa meski Glass Ceiling menunjukkan tanda-tanda pelunakan, efeknya masih nyata dan memerlukan upaya lebih lanjut agar kesempatan berlaku lebih setara bagi perempuan di semua sektor.
Di balik istilah Glass Ceiling, tersembunyi fakta bahwa banyak potensi terbaik perempuan terhambat bukan karena kurang kompetensi, melainkan karena sistem yang belum sepenuhnya adil. Menghapus hambatan ini bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga investasi pada masa depan yang lebih produktif.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa perusahaan dengan keragaman gender di level eksekutif memiliki profitabilitas lebih tinggi, inovasi lebih kuat, serta tingkat retensi karyawan yang lebih baik. Artinya, keberagaman bukan sekadar tren, melainkan faktor kunci keberhasilan bisnis jangka panjang.
Perubahan ini juga penting untuk membangun lingkungan kerja yang sehat, di mana semua orang bisa berkembang berdasarkan kemampuan, bukan dibatasi oleh identitas gendernya. Dengan langkah nyata dari perusahaan, individu, dan pemerintah, Glass Ceiling bukan hanya bisa dikurangi, tetapi juga benar-benar dipatahkan sehingga dunia kerja menjadi ruang yang lebih inklusif dan berdaya saing global.
Baca juga: Panduan Praktis Lapor SPT Tahunan Online untuk Karyawan
Secara keseluruhan, Glass Ceiling adalah hambatan tak terlihat yang menghalangi perempuan untuk berkembang maksimal dalam karier mereka. Dampaknya nyata: terhambatnya promosi, kesenjangan upah, hingga hilangnya peluang inovasi di perusahaan. Namun, hambatan ini bukanlah sesuatu yang permanen. Dengan kebijakan perusahaan yang inklusif, dukungan pemerintah melalui regulasi yang berpihak, serta keberanian individu perempuan untuk terus maju, Glass Ceiling bisa dipecahkan. Sudah saatnya dunia kerja memberi ruang setara, agar karier perempuan dapat berkembang tanpa batasan yang tidak adil.
Temukan Lowongan Pekerjaan Di MSBU Konsultan!